watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

MENGUAK RAHASIA BERDUA

"Peristiwa Kenari", demikian Rien
menamakannya, adalah sebuah langkah tak
terencana yang sempat membuat wanita lajang
ini panik. Ketika mereka berdua akhirnya tiba
kembali di kota, menembus rintik hujan dan gelap
senja, Rien sempat ingin berbincang dahulu. Ia
ingin menjelaskan sesuatu, agar Kino tak salah
tangkap. Tetapi mulutnya terkunci, dan otaknya
buntu. Lagipula, apa yang bisa ia jelaskan? Misteri
apa yang bisa ia ungkap dalam sebuah peristiwa
pendek yang begitu bergelora tadi? Dan kenapa ia
harus kuatir akan Kino; kesalah-tangkapan apa
yang mungkin terbesit di benak pria muda itu?
Akhirnya mereka berpisah dengan kikuk.

Di perempatan dekat kantor camat, Rien berbelok ke
kiri, ke tempat kostnya. Sambil berusaha
tersenyum menenangkan diri, ia melambaikan
tangan dari atas sepedanya. Kino tampak ragu-
ragu, apakah hendak ikut belok kiri atau terus,
langsung ke rumahnya. Tetapi dilihatnya Mba
Rien hanya melambai, tidak menawarkan
mampir. Maka ia pun hanya membalas lambaian
dan melanjutkan perjalanan ke rumah.
Di tempat kost, Rien memutuskan untuk segera
mandi, terburu-buru melepas jaket parasut dan
celana pendeknya. Dengan bersaput handuk, ia
berlari kecil ke kamar mandi di sebelah kamar
tidurnya. Teman satu kostnya, seorang guru SMP
bernama Laras yang sebaya dengannya, tak
tampak. Mungkin sedang bermain ke tetangga
sebelah. Cepat-cepat Rien mengunci pintu kamar
mandi dan membuka pakaian-pakaian dalamnya.

Lalu ia membasuk kaki-kakinya yang terpercik
lumpur, dan mencuci tangan.
Sewaktu mencuci tangan itulah, terbayang
kembali "peristiwa kenari" yang barusan
dialaminya. Sambil tersenyum, dalam hati ia
memarahi dirinya sendiri. Rien, kamu telah
membuka gerbang ke arah dunia yang tak
terduga! Kini, apa yang akan terjadi berikutnya,
kamu harus simak dengan seksama. Dan dengan
hati-hati. Siapa yang tahu, apa yang kini
bergejolak di hati Kino, dan apakah
keremajaannya mampu menampung gejolak itu.
Rien mengambil sabun dan membasuh kedua
tangannya dengan seksama. Tangan itu yang tadi
meremas-membelai, menguak sebuah tabir dari
babak cerita di panggung kehidupan!
Lalu Rien menumpahkan bergayung-gayung air
dingin ke tubuhnya. Segera kesegaran menyerbu
badannya, membuatnya ingin bernyanyi. Maka
tak lama kemudian ia menggumamkan lagu -
entah apa- sambil mulai menyabuni tubuhnya.
Lehernya yang jenjang ia sabuni. Sepasang bukit
indah di dadanya, ia sabuni, sampai dipenuhi
busa-busa harum. Pada saat menyabuni bagian
bawah tubuhnya, ia terkejut sendiri. Hampir saja
sabun lepas dari genggaman. Ternyata
kewanitaannya basah oleh cairan bening yang
telah lama tak pernah ada di sana.
Kekagetannya juga berlanjut, ketika Rien sadar
bahwa di bagian itu ada rasa hangat yang
berlebihan. Ada sensitifitas yang lebih dari
biasanya. Tanpa sabun, tangannya bergerak lebih
ke bawah, mengusap-usap seperti sedang
menduga apa gerangan yang terjadi.
Sebenarnya, Rien tak perlu menduga, karena
setiap usapan mendatangkan rasa yang telah
lama tak dirasakannya: sebentuk geli yang
bercampur nikmat, yang dengan mudah
membuat jantungnya berdegup sekian kali lebih
kencang. Tanpa bisa dicegah, Rien tiba-tiba
mendesah, dan kedua kakinya bagai sedang
berseteru, saling memisahkan diri satu sama lainnya.

Suara kucuran air cukup keras menyembunyikan
desah Rien yang kini memperkuat usapan
tangannya. Bahkan itu bukan lagi mengusap
namanya. Itu meremas namanya. Menekan-
nekan dengan telapak, dan menggaruk-mengurat
dengan jari tengah. Lalu pangkal ibu jarinya
bertumbu pada bagian atas, bergerak-gerak
seperti sedang menarik picu senjata. Rien
menggelinjang, dan hampir saja terpeleset di
lantai kamar mandi yang licin. Tangan kirinya
yang bebas buru-buru berpegangan ke tembok,
sementara tangan lainnya tak hendak berhenti.

Malah bergerak makin cepat seperti ada sesuatu
yang mendesak yang harus dilakukan di bawah
sana. Mata Rien sedikit terpejam, dan mulutnya
yang berpagar bibir basah itu sedikit terbuka.
Nafasnya sedikit memburu. Serbuan-serbuan
kenikmatan datang entah dari mana, dan Rien
agak terhuyung, sehingga ia akhirnya bersandar
di tembok marmer yang dingin dan basah.
Suara orang membuka pintu ruang depan
membuat Rien tersentak sadar. Buru-buru ia
kembali ke dekat bak mandi. Terdengar suara
Lara nyaring, "Rieeeen ........ kau kah itu di kamar
mandi?"
Rien membersihkan tenggorokannya yang tiba-
tiba tersekat, sebelum menjawab keras-keras,
"Ya, ini aku La ... sedang mandi...", entah apa pula
perlunya menambahkan kata "sedang mandi" di
ujung kalimat!
"Dari mana saja, anak manis?" teriak Lara lagi,
terdengar melangkah menuju kamarnya di
seberang kamar Rien.
"Dari hutan mencari kenari .... ", jawab Rien
sambil mulai mengguyur.
Duh, segera saja api yang berkobar di tubuhnya
padam. Dalam hati Rien bersyukur, Lara datang
sebelum dirinya betul-betul terlena oleh
tangannya sendiri! Tetapi sesungguhnya ia juga
kesal, kenapa Lara datang pada saat seperti itu.
Sambil tertawa kecil, Rien menghentikan
perdebatan di kalbunya. "Peristiwa Kenari"
ternyata tidak hanya mengubah hidup Kino!!

******

Sementara Kino telah pula sampai di rumahnya.
Ia telah pula di kamar mandi, dan telah pula
menyabuni tubuhnya. Sama dengan Mba Rien, ia
telah pula kembali membayangkan apa yang
terjadi di hutan tadi. Bedanya, Kino tak berhenti
karena terganggu oleh teriakan ayah, atau
panggilan ibu, atau ajakan Susi untuk bermain
petak umpet. Kino melanjutkan gerakan-gerakan
tangannya, mengerang pelan ketika akhirnya
ledakan-ledakan orgasme tercapai.
******
Seminggu setelah "peristiwa kenari", Kino
disibukkan oleh ulangan-ulangan di sekolahnya.
Dalam kesibukannya itu, Kino tak bertemu Mba
Rien. Ia tak mungkin bisa menemui Mba Rien,
karena diam-diam Mba Rien pergi ke rumah salah
seorang kakaknya di kota B, 6 kilometer di
sebelah selatan. Sebuah pesan pendek
disampaikan Niken kepada Kino, ketika pria
remaja ini lewat di depan sanggar (tentu saja, ia
sengaja lewat!). Kata Niken, Mba Rien menyuruh
Kino rajin belajar supaya semua ulangannya
bernilai bagus. Kata Niken lagi, Mba Rien baru
akan pulang bulan depan, karena sanggar akan
tutup sementara murid-murid menjalani ulangan.
Untuk beberapa saat, Kino merasa ada sesuatu
yang tak beres. Kenapa dia tiba-tiba menghindar?
sergahnya dalam hati, disertai gundah karena
kepergian Mba Rien hanya berjarak seminggu dari
peristiwa di gua itu. Apakah ia marah? Tetapi apa
yang membuatnya marah? Mba Rien tak tampak
marah ketika ia melakukan itu di gua; ia bahkan
tampak ceria, dan matanya penuh senyum
menggoda. Apakah ia malu menemuiku lagi?
Tapi, bukankah aku yang seharusnya malu
menemuinya?

Pikiran-pikiran itu berkecamuk sepanjang hari,
berlanjut sepanjang malam, sehingga Kino baru
tertidur pukul 2 pagi. Untung keesokan harinya
ulangan belum lagi dimulai karena masih dalam
rentang "minggu tenang". Tentu saja Kino tak
punya seorang pun yang bisa diajak
mendiskusikan pikiran-pikirannya. Tidak Dodi dan
Iwan yang baginya cuma akan menambah
persoalan. Tidak juga ibu, dan apalagi tentu bukan
ayah. Keduanya pasti cuma akan marah dan
menuduh yang bukan-bukan.
Maka Kino terpaksa mengambil kesimpulan
sendiri. Ia pergi ke pantai sendiri, berenang
sampai letih, lalu tidur-tiduran di bawah semak-
semak tempat ia dulu pertama kali menyentuh
dada Mba Rien. Sambil tertidur itu lah ia
memutuskan, bahwa tak mungkin Mba Rien
bermaksud buruk. Tak mungkin tiba-tiba Mba
Rien meninggalkan dirinya penuh dengan tanya
yang belum terjawab. Ia adalah seorang wanita
bijaksana, pikir Kino dalam hati, dan ia pergi
karena aku harus ulangan umum. Karena aku
harus berkonsentrasi dengan buku-bukuku.
Karena dengan Mba Rien di dekatnya, buku-buku
akan dia lempar jauh-jauh!
Pikiran itu meneduhkan gejolak hati Kino, walau
tak pernah menjadi jawaban sempurna bagi
pertanyaan-pertanyaan yang terus berdatangan
di kepalanya. Pikiran itu pula yang membantu
Kino berkonsentrasi ke pelajaran sekolahnya,
sehingga ulangan umum tak terasa begitu
menyiksa. Dua minggu ia hanya belajar dan
belajar, sehingga ketika ulangan tiba, kepalanya
seperti penuh dengan huruf dan angka. Satu
demi satu ia menyelesaikan mata ulangan dengan
sedikit kesulitan saja. Di akhir masa ulangan,
kepalanya terasa kosong sekali. Ringan dan sejuk.

"Kamu kelihatan riang dan optimis...," tiba-tiba
Alma sudah berdiri di dekatnya, memeluk tas dan
menuaskan senyum di mukanya yang tampak
letih setelah seharian berkutat dengan kertas
ulangan.
Kino membalas senyum Alma, dan tiba-tiba
sadar bahwa cuma gadis ini yang tampaknya
peduli akan perasaannya. Kino teringat, Alma pula
yang dua minggu lalu -sebelum ulangan dimulai-
bertanya kenapa wajahnya keruh. Alma pula
yang pernah menawarkan sebotol minuman
dingin ketika ia sedang duduk sendirian di pinggir
lapangan basket menunggu bel masuk setelah
istirahat. Alma yang penuh perhatian!
"Lega rasanya setelah semua ulangan selesai,"
ucap Kino sambil memandang Alma, dan
menyadari betapa indah kedua bola mata gadis
yang oleh Dodi dan Iwan selalu dipuji-puji
setinggi langit. Alma tersenyum lagi,
menembakkan seberkas perasaan yang belum
jelas tertangkap oleh Kino.
"Pulang sama-sama?" kata Alma lembut, seperti
mengajak, seperti menebak. Ah, Kino tak tega
mengatakan "tidak", maka ia cuma mengangguk
dan mereka berjalan beriringan pulang. Kino
menuntut sepedanya, Alma berjalan sambil tetap
mendekap tas sekolahnya. Sayup-sayup
Kinomendengar Dodi berteriak "cihuiii.." dan Iwan
memperdengarkan suitan nakalnya. Kino
mengutuk dalam hati, dua monyet itu sungguh
tak punya sopan. Tetapi ia tersenyum juga.
Mereka berjalan pelan-pelan, menyusuri jalan
yang dipagari pohon-pohon asam rindang,
berbincang-bincang ringan tentang sekolah.

Alma bertanya tentang rencana liburan, Kino
mengatakan ia belum punya rencana. Alma
berbicara tentang rencana berkemah anak-anak
kelas dua dan kelas tiga, Kino mengatakan
dukungannya kepada rencana itu. Alma bertanya
apakah Kino akan ikut berkemah, dan Kino
menjawab "mungkin". Alma lalu terdiam. Kino
juga diam. Pohon-pohon asam juga diam. Angin
juga diam.
Dalam diam Kino membandingkan Alma dengan
Mba Rien. Betapa berbedanya! Alma tampak
lembut, mungil, terkadang seperti sedang
bersedih. Mba Rien selalu menggairahkan, tegas,
dan penuh ide kegiatan. Tetapi Alma sangat
cantik, terutama jika mereka sedang berdua, dan
jika ia sedang bertanya, "Ada apa?" dengan
suaranya yang pelan dan matanya yang menatap
bening. Di depan Mba Rien, Kino seperti murid di
hadapan maha-guru dunia persilatan, mengikuti
segala gerak-geriknya dengan seksama,
mematuhi anjuran dan permintaannya. Di depan
Alma, sebaliknya, ia merasa perlu melingkarkan
tangan di bahu yang tampak ringkih itu. Merasa
perlu selalu jalan di sebelah kanan kalau
beriringan. Merasa perlu menawarkan membawa
alat-alat laboratorium setiap kali mereka selesai
praktikum.
Mereka tiba di depan bioskop satu-satunya di kota
itu. Mereka harus berpisah di sini, kecuali jika Kino
ingin mengantar Alma sampai ke rumahnya.
Alma memecah kesunyian di antara mereka,
"Sampai jumpa lagi sehabis liburan," katanya
pelan, lalu mulai berbelok.
"Alma..," tiba-tiba saja Kino sudah berucap, tapi ia
sendiri lupa hendak bicara apa. Alma
menghentikan langkah, berputar menghadap
Kino yang juga sedang berdiri terpaku. Alma
menunggu, wajahnya penuh harap. Ah,
mengertikah Kino apa artinya "harap"?
"Aku ingin ikut berkemah..., tapi...," Kino berucap
penuh keraguan. Cepat sekali wajah Alma
berubah mendengar ucapan Kino, dan bibirnya
yang mungil susah-payah menyembunyikan
senyum yang tiba-tiba menyeruak. Segumpal
harapan tersekat di kerongkongnya.
"..... tapi aku tidak tahu harus mendaftar kepada
siapa." lanjut Kino setelah menelan ludah yang
terasa pahit.

"Aku bendahara panitia," sergah Alma cepat
sekali, seperti memang sudah dipersiapkan sejak
tadi tetapi ditahan-tahan, "Kamu bisa mendaftar
kepadaku. Hari ini juga namamu sudah bisa
kutulis sebagai peserta. Aku bisa menalangi uang
pendaftarannya. Aku....," Alma menghentikan
ucapannya, sadar melihat Kino berdiri melongo
memandang gadis di depannya bicara penuh
semangat, seperti berbicara di depan pertemuan
partai politik!
Alma merasa mukanya tersiram air hangat, dan
ia segera menunduk menyembunyikan rasa malu
yang menyerbu. Kino tiba-tiba ingin tertawa
keras, tetapi ia bertahan sekuat tenaga, sehingga
yang keluar cuma senyuman yang lebar.
"Kalau begitu," ucap Kino sambil tetap menahan
senyum, "Sampai jumpa di alun-alun sekolah
Sabtu depan!"
Alma mengangkat muka, memperlihatkan
wajahnya yang memerah tetapi juga bersinar
riang sempurna. Matanya berbinar seperti bintang
timur di pagi hari. Mulutnya mengguratkan
senyum amat manis, bahkan bagi Kino, bahkan
di terik siang yang kering itu. "Sampai jumpa,"
bisiknya, tetapi tentu Kino tak mendengar karena
ia telah mulai melangkah lagi sambil melambaikan
tangan. Alma mengangkat tangan kananya,
melambai pelan, dan akhirnya berbalik untuk
berjalan ke arah rumahnya. Bumi terasa empuk,
seperti kasur terbuat dari busa. Alma senang
sekali hari itu. Senang-senang-senang sekali!

******

Bumi perkemahan adalah arena penuh suka-duka
remaja. Pak Guru dan Bu Guru adalah sipir-sipir
penjara, dan anak-anak kelas dua dan kelas tiga
adalah para pesakitan. Tetapi siapa yang peduli!
Setelah letih didera ulangan dan ujian, bumi
perkemahan adalah penjara yang dirindukan. Di
sini mereka bisa berteriak mengalahkan guntur di
langit, bernyanyi tanpa not balok dan tanpa dirijen
(yaitu Pak Sulih, guru seni yang terlalu tua itu!),
serta tidur melewati batas waktu yang selalu
ditetapkan secara sepihak oleh orangtua. Di sini
pula menyebar cinta remaja, cinta monyet,puppy
love, atau apa lah namanya!
Di perkemahan itu pula, Kino "menemukan"
Alma, setelah sekian lama mereka berteman. Kino
kini menyadari, Alma bukan gadis biasa, bukan
semata-mata teman sekelas yang duduk di
bangku kayu berwarna coklat tua itu. Bukan
seperti Tres, atau Sriani, atau Gina, atau Lisa.
Karena Alma punya kelebihan dari semua mereka
itu: Alma peduli padanya, peduli pada apa yang
dirasakannya, dan peduli dengan ketulusan.
Karena Alma tidak meminta, tetapi memberi.
Alma tidak mengajak, tetapi mendampingi.
Pagi itu, dengan alasan menemani Alma
mengambil air di sungai, Kino menarik gadis itu
ke balik sebuah batu besar. Di situ, di antara
gemersik air dingin dan kicauan burung yang
terlambat bangun, Kino menciumnya. Lembut
dan penuh perasaan, ia mengulum bibir gadis
yang kini memeluknya erat sekali. Alma
memejamkan mata, merasakan angin seperti
sutra menyelimuti tubuh mereka berdua,
mendengar nyanyian merdu dari daun-daun
yang berjatuhan. Kino merengkuh tubuh yang
terasa jauh lebih mungil itu (Alma cuma setinggi
hidungnya), melumat bibirnya yang basah dan
terasa manis. Ember terguling berkelontangan.
Sejak itu, Dodi dan Iwan mengubah sebuah lagu
pop dengan teks gubahan mereka sendiri yang
sangat gombal. Kino pusing sekali mendengar
gubahan yang tidak karuan itu. Bahasanya buruk,
tidak puitis, dan jelas-jelas memproklamirkan
percintaan Alma dengannya. Pusing sekali Kino
dibuatnya, tetapi apa lah dayanya, cuma Dodi dan
Iwan yang bisa menghiburnya dengan ketololan-
ketololan seperti itu!

******


Enam hari menjelang masa sekolah, Alma
menemani kedua orangtuanya ke ibukota,
katanya hendak menjenguk kakek-neneknya.
Inilah pertama kalinya Alma merasa perlu
melaporkan kepergiaannya kepada Kino, karena
sejak perkemahan dan ciuman pertama itu, Kino
resmi menjadi kekasihnya. Seorang kekasih harus
tahu kemana pasangannya pergi, bukan? Maka
Alma menulis surat pendek, di atas kertas merah
jambu, dan dikirim lewat kurir istimewa bernama
Dodi dengan pesan wanti-wanti, "Jangan dibuka
sebelum tiba di tangan Kino!"
Kino tersenyum membaca surat itu, sementara
Dodi memanjang-manjangkan leher ingin
mengintip isinya. Dengan seksama, dilipatnya
kertas merah muda itu, dan disimpannya di
dompet. Kepada Dodi, ia bilang bahwa Alma
pergi ke ibukota untuk menikah dengan pria
pilihan orangtua mereka. Dodi mencibir tak
percaya, tapi Kino tak peduli apakah temannya
percaya atau tidak. Mereka lalu bersiap-siap
berenang ke sungai, dan mengajak Iwan ikut
serta. Sepanjang sore, mereka berlomba-lomba
menyebrangi sungai, dan Kino selalu menang.
Kedua temannya terlalu ceking dan terlalu banyak
bergadang.
Sepulangnya dari berenang, ketika Dodi dan Iwan
telah terpisah darinya, Kino bertemu Niken.
"Hai..., apa kabar!" sergah wanita teman Mba Rien
itu.
"Kabar baik," ucap Kino pendek. Sebetulnya ia
ingin melanjutkan dengan pertanyaan tentang
Mba Rien, tetapi Kino ragu apakah hal itu patut
ditanyakan kepada Mba Niken.
"Tidak pernah ke sanggar lagi?" tanya Niken,
entah kenapa Kino merasa wanita ini sedang
menggodanya.
"Mmmm .... bukankah latihan tari belum dimulai
lagi, dan Susi belum perlu datang lagi?" jawab
Kino.
Niken tertawa kecil, "Maksudku, ....koqtidak
pernah ngobrol dengan Mba Rien lagi,
diakansudah datang!"
Kino menelan ludah. Oh, Mba Rien telah pulang.

Cepat sekali rasanya waktu berlalu, pikirnya dalam
hati. Lalu, entah kenapa ia akhirnya berjalan
beriringan dengan Niken ke arah sanggar. Niken
berceloteh entah tentang apa, Kino tak begitu
memperhatikan, karena kepalanya sibuk
menjawab berbagai persoalan yang tiba-tiba
muncul.
Sesampai di sanggar, Niken berkata bahwa ia
hendak ke belakang dulu, dan bahwa Mba Rien
ada di ruang latihan. Kino menggumamkan
terimakasih, menjawab sekenannya, lalu berjalan
ke arah ruang latihan. Langkahnya terasa berat,
tetapi kaki-kakinya seperti digerakkan oleh mesin
yang tak bisa dikendalikannya sendiri.
"Hei!!! Kino!...apa kabar?" suara Mba Rien yang
lepas-nyaring terdengar begitu Kino muncul di
pintu ruang latihan. Kino terpaku sejenak,
matanya menyesuaikan diri dengan keremangan
ruang latihan. Akhirnya ia melihat Mba Rien,
sedang menggelar tikar-tikar bersama seorang
wanita lain yang tak dikenal Kino.
Rien mendekat dengan cepat. Duh, kenapa ia jadi
rindu kepada remaja ini? sergahnya dalam hati,
tetapi ia tak mempedulikan perasaannya.
Dipeluknya Kino sebelum pemuda ini sepenuhnya
sadar apa yang terjadi, lalu dikecupnya cepat
pipinya. Kemudian dilepasnya pelukan secepat ia
mencium pipinya, dan diberondongnya Kino
dengan serentetan pertanyaan.
Kino tergagap-gagap menjawab pertanyaan
tentang ulangan, tentang liburan, tentang
orangtuanya, tentang Susi, tentang .... entah
tentang apa lagi. Banyak sekali yang tak bisa
dijawabnya. Mba Rien tampak bersemangat
sekali, dan Kino baru belakangan menyadari
bahwa rambut wanita ini telah berubah pendek.

Tetapi perubahan itu justru menambahkan
kecantikan baru, karena lehernya yang jenjang
dan mulus itu semakin terpampang indah, dan
matanya yang bersinar itu semakin tampil. Kino
tiba-tiba merasa ingin melingkarkan tangannya di
leher yang menggairahkan itu!
Setelah mencencar dengan pertanyaan dan
menyeret Kino untuk membantunya menggelar
tikar-tikar, akhirnya Mba Rien mengajak Kino ke
tempat kostnya. Kino hendak membantah, karena
hari sudah mulai gelap. Tetapi, sebagaimana
biasanya, ia tak pernah bisa menolak inisiatif Mba
Rien. Lagipula ini malam Minggu dan sekolah
belum lagi mulai. Kino tadi sore telah mengatakan
akan bermalam minggu bersama teman-teman,
dan ayah-ibu telah mengijinkannya pulang paling
lambat pukul 11. Maka akhirnya Kino bertandang
ke tempat kost Mba Rien.
Di tempat kost Mba Rien, tampak Mbar Laras
sedang berbincang dengan seorang pria
berwajah tampan dan berpakaian rapi, mungkin
pacarnya. Kino mengangguk sopan, dan Mba
Laras mencubit pahanya sambil mengomel,
mengatakan bahwa Kino tidak adil karena hanya
datang kalau ada Mba Rien. Pria yang sedang
bersama Mba Laras bertanya, siapa si Kino itu
(usil juga dia!) dan segera dijawab bahwa Kino
adalah adik bungsu Rien. Pria itu
menggumamkan, "Oooo.." yang entah
mengandung curiga atau percaya. Kino tiba-tiba
sebal kepada pria yang -harus diakuinya-
berwajah tampan dan berbaju cukup bagu untuk ukuran kota kecil.

Mba Rien mengajak Kino masuk ke kamarnya,
dan Kino tentu menurut saja karena Mba Laras
juga mengusirnya dari ruang tamu
("mengganggu pembicaraaan," katanya). Di
kamar, Mba Rien mengeluarkan sebungkus kue
bolu oleh-oleh dari kakaknya, dan Kino bersuka-
cita melahap pengganan lezat kegemarannya itu.
Mba Rien terus bercerita tentang kakaknya,
tentang anak kakaknya, tentang kota yang
terkenal dengan bolunya, dan sebagainya, dan
seterusnya. Kino, seperti biasa, cuma mendengar
dengan seksama. Tetapi mata Kino tak lekang dari
Mba Rien yang bergerak lincah mengimbangi
keramaian ceritanya. Ia seperti burung gelatik di
pagi hari, pikir Kino. Menggairahkan pula, dengan
dada yang terlonjak-lonjak seperti itu, dengan
mulut yang basah seperti itu, dengan pinggul
yang bergoyang seperti itu.

Lalu terdengar Laras berteriak dari kamar tamu,
mengatakan bahwa ia dan teman prianya akan
keluar untuk menonton. Mba Rien keluar sebentar
dan berbicara dengan pria teman Laras itu, lalu
terdengar pintu depan ditutup, dan Mba Rien
kembali ke kamar. Kino sedang berdiri membuka-
buka album foto di meja kerja Mba Rien yang
dipenuhi majalah-majalah dan buku tentang tari-
menari. Cantik sekali Mba Rien dalam foto-foto
penampilannya. Ia memang penari yang kata
orang penuh bakat, dan sudah pernah diajak tur
keliling Indonesia oleh seorang sutradara tari dari
ibukota. Kino juga pernah mendengar bahwa
Mba Rien diajak tur ke luar negeri, tetapi entah
kapan realisasinya.
Kino tersentak ketika merasakan nafas Mba Rien di
tengkuknya. Tanpa terdengar, Mba Rien telah
berdiri di belakang Kino, dekat sekali. Dengan
ringan ia menjelaskan foto-foto di album itu,
tetapi Kino tak bisa sepenuhnya mengerti. Betapa
tidak! Tubuh Mba Rien menempel di tubuhnya.
Nafasnya harum memenuhi udara. Dadanya
yang kenyal menekan punggung Kino, membuat
pemuda ini tiba-tiba bersyukur bahwa Mba Laras
dan teman prianya pergi ke luar rumah!
Lalu, entah kekuatan apa yang datang ke Kino,
tiba-tiba ia sudah berbalik dan memeluk Mba Rien.
Bukan itu saja, Kino bahkan tiba-tiba sudah
mengulum bibir basah yang bernafas harum
menggairahkan itu. Rien tergagap, kedua
tangannya siap mendorong dada Kino. Tetapi
dengan tiba-tiba pula tangan itu kehilangan daya,
dan berhenti di dada Kino, bukan mendorong
melainkan menempel saja. Lalu, ketika Kino terus
melumat bibirnya, Rien tak kuasa mencegah
kedua tangannya merengkuh tubuh pemuda itu.
Kedua payudaranya terhenyak di dada Kino,
membuat Kino semakin bergairah menciumi
wanita yang selalu menggairahkan birahinya ini.

Rien mengerang mendapat perlakuan Kino yang
penuh nafsu itu. Matanya terpejam penuh
penyerahan, juga ketika pelan-pelan mereka
bergeser ke arah dipan. Tangan Rien meremas
punggung Kino, dan bahkan lalu menekan
tengkuk pemuda itu, mendorong Kino untuk
berbuat lebih bergairah lagi. Dan Kino pun
menyambut ajakan seperti itu dengan sepenuh
hati. Entah bagaimana awalnya, kedua tangannya
kini meremas-remas payudara Rien,
menyebabkan wanita itu terengah-engah. Puting-
puting susunya terasa menegang mendapat
perlakuan Kino yang sebetulnya agak kasar itu.
Terasa gatal pula, karena Rien tergesek-gesek
beha nilonnya. Kehangatan tiba-tiba menjalari
tubuhnya, ke arah bawah, ke antara dua pahanya
yang kini menempel erat di paha Kino.
Keduanya lalu terjerembab di dipan yang berderit
menahan beban yang lebih berat dari biasanya.

Kino menindih Rien dan masih menghujaninya
dengan ciuman. Rok Rien yang pendek telah
tersingkap, memperlihatkan seluruh pahanya,
dan celana dalam krem tipis yang berenda-renda.

Sejenak Kino melihat pemandangan itu,
menyebabkan ia semakin bergairah menciumi
Mba Rien-nya. Tetapi cuma itulah yang bisa
dikerjakan Kino selama ini, meremas payudara
(sebagaimana Mba Rien mengajarinya di pantai)
dan menciumi bibirnya (seperti "peristiwa kenari"
sore itu). Tidak lebih dari itu yang bisa dikerjakan
pemuda tak berpengalaman ini!
Adalah Rien yang kemudian tak merasa cukup
diciumi dan diremas-remas seperti itu. Tubuhnya
minta lebih dari itu, dan Rien ingin
mendapatkannya dari Kino, pemuda yang
semakin lama semakin disukainya ini. Ia tahu, ini
adalah sebuah permintaan yang berbahaya dan
harus diperlakukan hati-hati. Tetapi pancaran
birahi dari pemuda yang sekarang mendekapnya
ini begitu kuat, mengundang Rien untuk hanyut
lebih jauh lagi, berenang lebih dalam lagi.
Sanggupkah ia menolaknya?
Dengan tangan kanannya yang bebas, Rien tiba-
tiba sudah menuntun tangan kanan Kino,
membawanya ke bawah. Tangan pemuda itu
tampak lemas tak berdaya, mengikuti saja.
Sambil mengerangkan sesuatu yang tak jelas,
Rien menelusupkan tangan Kino dan tangannya
ke balik celana dalamnya. Kino merasakan telapak
tangannya mengusap rambut-rambut halus dan
bukit kecil yang hangat di balik nilon tipis itu. Ah,
apa yang harus kulakukan? pikirnya risau. Tetapi
Kino diam saja, karena tangan Mba Rien kini
mengajak tangannya berputar-putar mengusap.

Hangat sekali di bawah sana, jauh lebih hangat
daripada kedua payudaranya, ucap Kino dalam
hati. Apalagi kemudian tangannya didorong lebih
ke bawah. Tidak hanya ada hangat di sana, tetapi juga agak basah.

Gerakannya masih mengusap-
usap, menuruti saja gerakan tangan Mba Rien
yang kini tampak semakin terengah-engah.
Tiba-tiba Mba Rien melepaskan bibirnya dari
pagutan Kino, membuat pemuda ini agak
terperanjat. Apalagi kemudian Mba Rien bangkit,
membuat Kino khawatir telah melakukan suatu
kesalahan fatal. Tetapi ternyata tidak. Ternyata
Mba Rien bangkit untuk melepas celana
dalamnya, dengan sebuah gerakan cepat yang
menakjubkan. Kino terkesima melihat Mba Rien
kini menggeletak di sampingnya, dengan rok
tersingkap sepenuhnya, dan dengan kewanitaan
yang terpampang jelas, menampakkan segitiga
hitam rambut-rambut halus yang sedikit
membukit, dan sepasang bibir yang membasah.
Kino menelan ludah berkali-kali. Pemandangan itu
sungguh berada di luar batas khayalnya selama
ini. Jauh di luar batas!
Wajah Mba Rien tampak serius dengan sinar
yang menggairahkan, pikir Kino sambil mencari
jawab di mata wanita itu. Ia sungguh bingung,
tak tahu harus berbuat apa. Mba Rien tersenyum,
lalu berbisik, "Kino.. Mba ingin kamu melakukan
sesuatu malam ini. Mau?"
Kino mengangguk bisu. Apa lagi yang bisa
dilakukannya selain itu? Ia melihat Mba Rien
tersenyum seperti biasanya, penuh dengan
bujukan agar ia percaya saja kepadanya. Ia diam
saja, ketika tangan Mba Rien menuntun
tangannya kembali ke bawah, ke segitiga yang
tampak menggoda dan mengundang itu. Ia diam
saja ketika dengan sabar Mba Rien memintanya
menjulurkan jari tengahnya. Ia diam saja ketika
Mba Rien, dengan tangan kirinya, menguak bibir-
bibir di bawah sana, memperlihatkan dinding
halus yang tampak licin-basah dan agak
berdenyut berwarna merah muda itu.
"Oh, Kino... tolong gosok-gosokkan jari
tengahmu di sana....," tiba-tiba Mba Rien
mendesah penuh dengan permohonan.
Kino terenyuh mendengar baru kali ini Mba Rien
memohon. Cepat-cepat ia memenuhi
permintaannya, dan dengan rasa kagum mulai
menelusuri celah bibir dan dinding halus yang
basah itu dengan jari tengahnya. Perlahan ia
menelusur ke bawah, ujung jarinya terasa
menyentuh sebuah liang liat yang agak sempit.
Perlahan ia naik kembali, terus ke atas karena
tangan Mba Rien menariknya sampai hampir
keluar dari lepitan bibir-bibir yang tampaknya
menebal itu. Ujung jari Kino kini merasakan
sebuah tonjolan kecil di balik selaput kulit yang
agak tebal. Mba Rien tampak memejamkan mata
erat-erat ketika Kino mengurut-urut tonjolan itu
seperti yang diminta Mba Rien.

"Terus, Kino... teruskan, ohhhhhh..,"

Mba Rien
seperti merengek-rengek dengan wajah yang
semakin memerah dan mulut membuka
menghembuskan nafas memburu. Kino
memenuhi permintaannya, menggosok dan
mengurut dengan jari tengahnya lebih cepat lagi.
Mudah sekali melakukannya, karena jarinya licin
dipenuhi cairan kental bening yang ia tak tahu apa
namanya. Mudah sekali jari tangannya melesak ke
liang kenyal kecil di bawah sana, karena liang itu
seperti membuka dengan sendirinya, dan seperti
hendak menyedot masuk jarinya. Gerakan-
gerakan tangan Kino semakin teratur; naik...,
turun.... berputar,... naik ... turun .... melesak
sedikit. Demikan seterusnya, sementara Mba Rien
kini menggelinjang, mengerang-erang seperti
orang mengejan, dan melentingkan badannya
seakan punggungnya tertusuk duri.
"Oooooh, Kino... lebih cepat lagi .... Kino,
ahhhh...," Mba Rien kini seperti orang mau
menangis dan memohon-dengan-sangat kepada Kino.

Sungguh membuat iba Kino, tetapi sungguh
menggairahkan pula permintaan itu. Maka Kino
bergerak secepat mungkin, sekeras mungkin,
sekuat mungkin. Tangannya terasa pegal, tetapi ia
tak peduli, ia harus lebih cepat lagi dan lebih kuat
lagi menggosok. Harus lebih kuat lagi memutar
sambil menekan kalau perlu, karena setiap
putaran dan tekanan tampaknya membuat Mba
Rien semakin keenakan. Rasanya seperti sedang
menimba sumur dengan satu tangan, peluh telah
membasahi dahi Kino, tetapi untuk wanita ini
rasanya masuk sumur pun rela!
Tiba-tiba Mba Rien mengejang, dan untuk
beberapa detik Kino menyangka perempuan ini
sedang menghadapi maut. Kaget, ia tarik
tangannya, tetapi Mba Rien memprotes..."Ah,
jangan Kino....jangan berhenti!" sambil menarik
tangan Kino untuk kembali ke bawah sana.
Cepat-cepat Kino memenuhi permintaan itu, dan
menggosok-mengurut kembali sekuat tenaga.
Satu kali, dua kali, tiga kali .... lima kali... akhirnya
Mba Rien seperti berteriak tertahan. Tubuhnya
menggeliat lalu melenting seperti busur panah,
lalu terjerembab kembali ke kasur dan
berguncang-guncang seperti sedang diserang
batuk hebat. Tetapi bukan batuk yang keluar dari
mulutnya, melainkan erangan-erangan dan
rintihan-rintihan. Kino takut sekali melihatnya!
"Ohhhhhh..., Kino!" ucap Mba Rien seperti orang
menahan tangis, memeluk leher pemuda itu,
meraihnya ke pelukan tubuhnya yang masih
turun-naik dengan nafas memburu. Kino terdiam
menempelkan kepalanya di dada Mba Rien,
mendengar jantungnya bagai berdentum-
dentum, keras sekali.
"Kino .... maafkan Mba Rien !" tiba-tiba terdengar
wanita itu berucap. Kino hendak mengangkat
kepalanya, tetapi tertahan oleh tangan yang
memeluk erat lehernya.
Lalu ia merasakan air hangat mengalir di dahinya.
Mba Rien menangis!
Ada apa gerangan? Apa yang salah? Cepat-cepat
Kino melepaskan diri dari pelukan, dan
memandang heran. Mba Rien memang
menangis, matanya penuh air mata, tetapi
mulutnya tersenyum manis.
"Kenapa?" tanya Kino dengan sejuta keheranan.

Mba Rien menggelengkan kepalanya pelan-pelan,
tangannya lembut mengusap wajah Kino, lalu
juga mengusap rambutnya yang agak menutupi
dahi. Dia berbisik, "Aku telah menguak sebuah
rahasia penting untukmu .... ."
Kino diam dan masih mengernyitkan dahi. Mba
Rien berkata lagi, masih dengan berbisik, "Itu tadi
orgasme pertamaku di tangan kamu, Kino..."
Orgasme. Rahasia penting. Kino menghela nafas
panjang. Ia menguakkan kepadaku rahasia
terpenting seorang wanita. Mba Rien
membawakan kepadaku dunia yang kini justru
penuh misteri untuk dikuakkan, pikir Kino dengan
dada dipenuhi aneka perasaan: bangga bahwa ia
dipilih oleh wanita menggairahkan ini, takjub
karena ternyata orgasme itu begitu indah
sekaligus menakutkan, terharu karena melihat
wanita ini harus berjuang melawan dirinya sendiri
sampai menangis!
Dengan cepat dipeluknya Mba Rien, diciuminya
leher wanita yang harum itu. Oh, terimakasih
untuk kunci rahasia itu Mba Rien. Terimakasih
banyak!!


Adult | GO HOME | Exit
1/1441
U-ON

inc Powered by Xtgem.com